Review Buku Men Coblong Karya Oka Rusmini
Buku karya Oka Rusmini yang menarik untuk dibaca adalah Men Coblong. Berbeda dari karya-karya sebelumnya yang ditulis oleh beliau, Men Coblong berawal dari kolom di Bali Post, penulis dan jurnalis “Men Coblong”, Oka Rusmini menawarkan perspektif feminin tentang ibu dan wanita. Karakter Men Coblong, seorang wanita paruh baya dengan seorang putra, menyuarakan tanggapannya terhadap kepekaan agama, budaya, politik, dan kehidupan sehari-hari. Buku ini merangkai cerita pendek dan esai yang memiliki sindiran yang tajam dan menantang ‘fakta’ dalam fiksi.
“Berarti kritik membangun yang membuat bangsa ini maju justru dianggap penghinaan? Lalu, kapan majunya negara ini, kalau kritik yang diajukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dibungkam dan dianggap menghina? Pantas saja. Alangkah sulitnya mencari figur yang jadi contoh untuk generasi milenial, generasi Y, dan generasi Z. Men Coblong jadi ingat kata-kata anak lelakinya, “Kekuasaan itu membuat temanku merasa menjadi Tuhan, tidak boleh dikritik, maunya menang sendiri. Keputusannya adalah kebenaran mutlak. Kritik kita dianggap menghina marwahnya sebagai ketua kelas.” –Bab Hina, hlm 131.
Ada sekitar 58 kisah yang ditampilkan di buku bersampul hijau muda bergambar perempuan Bali kekinian ini. Men Coblong menyoroti beraneka persoalan yang ada di sekitar dalam tajuk: Sekolah, Perempuan, Sehat, Gaduh, Waras, Cercak, Geripis, Bulur, Ceruk, Patron, Syahwat, Sintas, Hamba, Aparatus dan lainnya.
Masing-masing mengangkat isu yang sedang hangat. Ada masalah pendidikan, perempuan, kebudayaan, hukum, pemilu dan banyak lagi yang diakhiri dengan ending yang menyengat. Ada banyak pihak yang digugat oleh Men Coblong: pengampu kebijakan, pemilik perusahaan, pesohor negeri, orang tua, juga siapa saja yang terkait dengan penyelenggara kehidupan di sekitarnya. Didasari data akurat, Men Coblong mengusik ingatan pembaca akan segala kasus yang pernah ramai diperbincangkan masyarakat pun menggugat para pelakunya.
Bagi saya, Oka Rusmini dalam buku ini berhasil nyindir tanpa nyinyir. Bisa menggugat dengan bahasa yang tepat. Mengkritik dengan cara yang unik. Membahas masalah dengan menyerahkan kembali apa yang mesti direnungi. Menanggapi persoalan dengan memberi pandangan tanpa menggurui. Dan menguliti tanpa menyakiti.